|
dr. I Wayan Agus Gede Manik Saputra, M.Ked. Klin. Sp.MK (PAMKI Bali) dalam paparannya |
TABANAN - Program Diseminasi & Kick Off, Program Desa Bijak Antibiotika (SAJAKA) atau proses penyebaran informasi atau pengetahuan kepada khalayak luas dalam memperkenalkan resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) yang terjadi akibat penggunaan antimikroba, termasuk antibiotik, secara tidak rasional.
Kondisi ini secara data medis merupakan ancaman serius bagi kesehatan secara global. Dewan Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) melaporkan ada 700.000 kematian diseluruh dunia (2017) akibat AMR.
Apabila tidak dikendalikan secara optimal, kondisi ini adalah sebuah pandemi senyap yang mengancam hingga 10 juta kematian setiap tahun pada tahun 2050. Menurut hasil studi, antibiotik dapat dibeli tanpa resep di 64 persen negara Asia Tenggara. Lebih lanjut, hasil survei menyebut hampir 87 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik.
Salah satu faktor penting penanganan AMR adalah kolaborasi lintas sektor untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan antimikroba secara lebih bijak, seperti melalui program Desa Bijak Antibiotika (SAJAKA) yang diprakarsai oleh One Health Collaboration Center (OHCC) Universitas Udayana.
SAJAKA bertujuan mengubah persepsi, pengetahuan, dan perilaku penggunaan antibiotik di tataran komunitas secara lebih bijak oleh masyarakat di Desa Bengkel, Tabanan, Bali, pada tahun 2021-2023.
Program ini didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID),
serta diinisiasi dan dilaksanakan melalui Proyek One Health Workforce-Next Generation (OHW-NG) oleh OHCC Universitas Udayana bersama Indonesia One Health University Network (INDOHUN).
Dalam praktiknya, SAJAKA mendapat dukungan penuh dari pemerintah Kabupaten Tabanan, serta sejumlah asosiasi, dan perguruan tinggi di Bali.
Temuan SAJAKA pada program tahun 2021-2022 menyebut bahwa responden
menganggap antibiotik diperlukan dalam keadaan sakit tenggorokan (75 persen), demam (72,1 persen), dan batuk pilek (66,6 persen). Lebih jauh lagi, sebagian responden pernah
menggunakan antibiotik tanpa resep untuk mengatasi demam (56,1 persen) dan sakit tenggorokan (50 persen).
I Nyoman Wahya Biantara, S.Kom., selaku Perbekel Desa Bengkel, Kecamatan Kediri, Tabanan menyebutkan dalam sambutannya bahwa dirinya baru memahami bahayanya penggunaan antibiotika secara sembarangan.
" Penyuluhan program ini (SAJAKA) sudah dilakukan di Desa Bengkel sudah sejak setahun yang lalu "
" Semenjak itu masyarakat baru memahami bahwa harus bijaknya penggunaan antibiotik, baru tahu juga penggunaan antibiotik secara sembarangan dapat menyebabkan kematian, " ungkap Perbekel Desa Bengkel, Jumat (22/09/2023).
Program itu agar lebih efektif, Perbekel Desa Bengkel ini menganjurkan langsung melalui banjar - banjar yang ada, jadi bisa langsung bertemu dengan masyarakat.
" Mereka dati OHCC banyak bawa tim saat itu, mereka langsung bertemu dengan masyarakat, " ujarnya.
Prof. Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti, Sp.MK (K)., dalam paparannya sebagai narasumber menyebutkan bahwa target dalam penelusuran di lapangan juga mendapatkan hasil yang baik.
" Syukur banget program kita dapat berjalan dengan baik, dari target 30 rumah tangga ternyata dapat 120 rumah tangga dengan sedikit merubah angle pendekatan dengan masyarakat "
Ia juga menekankan bahwa dalam program yang dijalankannya ini mendapatkan 80% rumah tangga sudah tidak menyimpan antibiotik di rumahnya.
" Mohon kepada ibu - ibu bila anggota kami (OHCC) datang ke rumah dan menanyakan apakah ada antibiotika di rumah, mohon diberikan informasi, " harapnya.
Menemui Bambang Chriswanto selaku pejabat dari PT. Pfizer Indonesia bagian Policy & Public Affairs Director Pfizer Indonesia & The Philippines and Management of PT. Pfizer Indonesia, menyebutkan dalam paparannya bahwa persoalan resistensi antimikroba merupakan pandemi senyap.
" Itu karena ancamannya dibawah arus, menggulung dengan cepat dan bisa menimbulkan dampak yang luar biasa, itu berbeda dengan Covid -19 kemarin "
AMR itu sebutnya merupakan persoalan yang sudah lama, makin hari makin kompleks dan lintas sektor, ini wajib ditangani secara menyeluruh.
" Penggunaan antibiotik itu harus tepat, tepat guna, 'treatment outcome' yang artinya adanya observasi berapa lama pasien itu harus dirawat di rumah sakit dan penggunaan antibiotikanya "
Kegiatan SAJAKA itu merupakan kegiatan bottom up, dari bawah ke atas dan kita harus bijak dan rasional dalam penggunaan antibiotik.
" Mengkonsumsi antibiotik yang diresepkan oleh dokter harus habis dan wajib membeli di toko - toko yang resmi dan terpercaya, " ujarnya.
Kemudian berlanjut menanyai, dr. I Wayan Agus Gede Manik Saputra, M.Ked. Klin. Sp.MK (PAMKI Bali) yang mendapat tugas 'Policy Brief' dimana risalah kebijakan dan hasilnya dapat direplikasi ditempat yang lainnya.
" Temuan - temuan yang didapat dilapangan yakni satu adalah tenaga kesehatan, kedua komunitas dan ketiga adalah peternak. Dimana pelaksanaannya bagaimana menggunakan antibiotik itu secara bijak "
Terkait dengan indikator terhadap masyarakat wajib dan terus menerus harus diberikan edukasi kepada masyarakat, agar pemahaman masyarakat terkait penggunaan antimikroba (antibiotik) bisa diterima dengan baik di masyarakat.
Kemudian untuk peternak, hasil yang dijelaskan dokter yang satu ini adalah baik.
" Peternak khususnya babi, sudah tidak lagi mencampurkan antibiotik di makanan ternak mereka, ini dapat direplikasikan ditempat lain nantinya, " ungkapnya.
Pertanyaan bahwa seorang bidan dapat memberikan antibiotik di desa - desa itu adalah karena adanya supervisi dari dokter spesialis kandungan yang ada di wilayah tersebut.
" Mereka harus tetap dalam supervisi dari dokter spesialis kandungan, tetapi bila pemberian secara pribadi dalam undang - undangnya itu tidak boleh "
Kendala yang menjadi halangan adalah adanya anggapan bahwa penggunaan antibiotik di masyarakat itu adalah penggunaan seperti obat biasa.
Sasaran ibu rumah tangga yang didapat ternyata lebih efektif bila sang anak sendiri yang diberikan pemahaman yang dalam program SAJAKA ini.
" Makanya dalam program kami, anak - anak SD sudah kami edukasi terhadap penggunaan secara bijak antibiotika ini "
Menanyakan soal dorongan untuk mendapat regulasi secara undang - undang menjadi konsen tersendiri terhadap obat - obat jenis antibiotika.
" Regulasi penggunaan antibiotika di Indonesia ini belum jelas pengaturannya "
" ini masih grey atau abu - abu dalam pengaturannya, tidak seperti antinarkotika dan psikotropika lainnya "
Antibiotika sebutnya juga termasuk obat - obatan dengan logo biru (obat keras), bila ini didukung dengan regulasi yang jelas tentu dapat mengontrol penggunaannya di masyarakat nantinya.
" Di Negara maju jelas sekali, mereka mengatur penggunaan antibiotik itu dengan resep bila tidak akan ada pinalti bagi penyedia antibiotik, " ungkapnya. (Ray)