Dr. Drs I Gusti Agung Ngurah Agung SH, MH, CLA selaku Ahli Hukum Agraria. |
DENPASAR - Para tokoh masyarakat Kembali ikut berkomentar tentang permasalahan Jero Kepisah yang ramai di pemberitaan belakangan ini. Kali ini datang dari Dr. Drs I Gusti Agung Ngurah Agung SH, MH, CLA selaku Ahli Hukum Agraria.
Ia mengomentari soal kondisi hukum dari Anak Agung Ngurah Oka dari Jero Kepisah yang merupakan ahli waris almarhum I Gusti Gede Raka Ampug alias Gusti Raka Ampug asal Puri Kepisah, Pedungan, Denpasar seluas 8 hektar yang hendak diklaim seseorang yang secara nyata bukan anggota keluarganya.
I Gusti Agung Ngurah Agung mengaku bahwa dirinya adalah seorang pengajar atau dosen ahli pidana di salah satu kampus terkemuka di Jakarta Pusat. Ia mengamati melalui media massa, melihat permasalahan yang ada bahwa adanya tindakan yang tidak dirasa adil terhadap kondisi yang terjadi terhadap ahli waris Jero Kepisah.
" Untuk masalah pertanahan di Indonesia, kita tidak bisa lepas dari Undang - Undang Pokok Agraria. Karena sampai saat ini UU ini belum ada perubahan dati tahun 1960 sampai sekarang, " ungkap Agung Ngurah, Sabtu (07/01/2023), di salah satu kantor di bilangan Denpasar.
Konsep dasar pertanahan adalah penguasaan, yang dimana kalau seseorang menguasai tanah itu selama 20 tahun berturut-turut dan tidak ada keberatan dari berbagai pihak maka dengan terang benderang boleh mengajukan kepada negara jika disetujui dia punya hak terhadap tanah tersebut, sebutnya.
Undang - undang agraria pun dibuat banyak mengadopsi hukum - hukum Adat di Indonesia, yang pada pokoknya jangan sampai tanah - tanah yang ada itu terlantar dan tidak berguna untuk kemakmuran masyarakat. Kalo terlantar, Negara akan mengambil alih penguasaan hak atas tanah tersebut dan kita bisa mengajukan permohonan.
"Dalam konsep ini kita harus lihat dasar tanah ini, memalsukan sertifikatnya atau memohon kepada negara atau bagaimana"
"Disini dalam pendaftarannya (pensertifikatan) Negara mengadopsi paham publikasi negatif yang bertensi positif, artinya Negara tidak bertanggungjawab terhadap produk yang BPN itu keluarkan, tetapi yang mendaftarkan tanah tersebut"
Bila ada indikasi pemalsuan terkait itu dan harus diajukan gugatan PTUN atau lewat hak keperdataan di Pengadilan umum, bukan langsung ke Pidana. Dalam hal ini mereka harus mempunyai bukti hak, tentu Jero Kepisah boleh melaporkan pidana bukan pihak lain yang melaporkan.
Ditanya terkait bagaimana AANEW selaku pelapor bisa menggugat Jero Kepisah itu diajukan dalam bentuk pembayaran pipil yang dibuat hari Minggu (hari libur) bagi Dr. Agung Ngurah Agung selaku ahli dibidang Agraria bahwa hal yang seharusnya tidak mungkin karena seluruh negara tidak mengeluarkan produk berupa surat pada hari Minggu.
"Ini aneh, dari sini semestinya jika penyidik Polda Bali cerdas tentu mudah untuk mengkaji persoalan itu karena logika hukumnya sudah disana," sentil dosen tetap Pasca Sarjana Institut Bisnis Law and Management (Iblam) Jakarta Pusat ini.
Untuk kasus Jero Kepisah ini, Agung Ngurah Agung menyebutkan, bila menggunakan jalur pidana tentu tidak mungkin akan tuntas dalam penyelesaian sengketa tanah seperti ini.
Anak Agung Ngurah Oka selaku ahli waris Jero Kepisah sebelum mensertifikatkan tanah tentunya telah memiliki silsilah berdasarkan Surat Pemberitahuan Pembayaran Pajak (SPPT). Dr. Agung Ngurah Agung meyakini, silsilah dari terlapor Anak Agung Ngurah Oka dibuat jauh sesudah tanah tersebut dikuasai oleh leluhur Jero Kepisah yakni semenjak ratusan tahun lalu.
" Kepastian hukum itu sebenarnya sudah ada disana, dan untuk membatalkan sertifikat itu harusnya di gugatan, " pungkasnya. (Ray)