Warga Ungasan tolak eksekusi lahan seluas 5,68 hektar |
GATRADEWATA NEWS | BALI | Kondisi eksekusi yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar mendapat perlawanan dari masyarakat setempat. Berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 470/Pdt.G/2019/PN Dps Jo Nomor 68/Eks/2021/PN Dps (19/01/2022) yang menunjuk panitera/jurusita PN Denpasar untuk melaksanakan eksekusi gagal total karena massa melawan dengan memblokade jalan masuk ke daerah yang menjadi objek sengketa, Rabu (09/02/2022), desa Ungasan, kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
Ini bukan tanpa alasan, karena pembayaran yang harus dilakukan oleh Bambang Samijono selaku pembeli pertama dikatakan belum membayar pelunasan untuk pembelian tanah dengan luas 5,68 hektar tersebut. Bambang Samijono menggadaikan tanah tersebut ke salah satu Bank yang ada di Jakarta.
Singkat cerita tanah yang dianggunkan di Bank tersebut tidak pernah dibayarkan oleh Bambang Samijono yang diduga mafia tanah, dengan mengakali dan menjanjikan pembayaran setelah mendapatkan uang anggunan dari Bank.
Panitera/juru sita PN Denpasar Rotua Roosa Mathilda T, SH, MH., sempat mengucapkan ancaman akan menuntut bagi orang yang berteriak mengatakan dirinya orang bayaran pihak Lie Herman Trisna selaku pemohon eksekusi.
Tetapi mendapat desakan dari massa yang mengatakan akan mengambil sikap sampai titik darah penghabisan, pihak panitera/jurusita dan pihak pemohon memilih untuk menunda acara eksekusi hari itu.
Setelah batalnya acara eksekusi, menemui Kadek Handiana Putra selaku ahli waris dari tanah tersebut yang masih menguasai fisik tanah yang kosong tersebut dan memanfaatkannya untuk olahraga paragliding, mengatakan bahwa dirinya tidak terima akan perlakuan mafia pertanahan ini.
"Mereka tahu kita masih dalam sengketa, dan saya tidak menutup kemungkinan untuk negosiasi terhadap tanah yang belum dibayar lunas ini, "sebutnya, di lokasi sengketa.
Ia juga menambahkan bahwa masyarakat disini juga menolak cara-cara mafia pertanahan seperti ini mengaburkan fakta-fakta yang ada. Tanah 5,8 hektar yang hendak dibeli ini belum dilunasi oleh Bambang Samijono (1992).
"Sekitar 8 tahun setelah perjanjian yang tidak pernah dilunasi, kita cari tahu sampai Jakarta. Ternyata tanah ini sudah dianggunkan di Bank oleh Bambang Samijono, "ungkapnya.
Ia disana juga menanyakan etika profesi dari Notaris Putu Chandra, mengapa shm belum lunas tetap diberikan kepada Bambang Samijono. Lalu dilakukanlah gugatan yang dimenangkan oleh pihak ahli waris (2000), kemudian 3 tahun kemudian datanglah pihak yang mengaku pembeli lelang dari tanah tersebut (Lie Herman Trisna).
"Saya merasa ini ada cacat hukum dalam pelelangan negara. Kita masih akan PK untuk kasus hal ini, "pungkasnya.
Saat yang berbeda via pesan elektronik menghubungi Lie Herman Trisna, ia mengaku sangat kecewa terhadap batalnya eksekusi ini, dia juga mengatakan harusnya negara hadir dalam hal ini.
"Surat permintaan terhadap pihak kepolisian belum direspon oleh pihak yang berwajib, saya kecewa negara harusnya hadir, "ungkapnya. (Ray)
Singkat cerita tanah yang dianggunkan di Bank tersebut tidak pernah dibayarkan oleh Bambang Samijono yang diduga mafia tanah, dengan mengakali dan menjanjikan pembayaran setelah mendapatkan uang anggunan dari Bank.
Panitera/juru sita PN Denpasar Rotua Roosa Mathilda T, SH, MH., sempat mengucapkan ancaman akan menuntut bagi orang yang berteriak mengatakan dirinya orang bayaran pihak Lie Herman Trisna selaku pemohon eksekusi.
Tetapi mendapat desakan dari massa yang mengatakan akan mengambil sikap sampai titik darah penghabisan, pihak panitera/jurusita dan pihak pemohon memilih untuk menunda acara eksekusi hari itu.
Setelah batalnya acara eksekusi, menemui Kadek Handiana Putra selaku ahli waris dari tanah tersebut yang masih menguasai fisik tanah yang kosong tersebut dan memanfaatkannya untuk olahraga paragliding, mengatakan bahwa dirinya tidak terima akan perlakuan mafia pertanahan ini.
"Mereka tahu kita masih dalam sengketa, dan saya tidak menutup kemungkinan untuk negosiasi terhadap tanah yang belum dibayar lunas ini, "sebutnya, di lokasi sengketa.
Ia juga menambahkan bahwa masyarakat disini juga menolak cara-cara mafia pertanahan seperti ini mengaburkan fakta-fakta yang ada. Tanah 5,8 hektar yang hendak dibeli ini belum dilunasi oleh Bambang Samijono (1992).
"Sekitar 8 tahun setelah perjanjian yang tidak pernah dilunasi, kita cari tahu sampai Jakarta. Ternyata tanah ini sudah dianggunkan di Bank oleh Bambang Samijono, "ungkapnya.
Ia disana juga menanyakan etika profesi dari Notaris Putu Chandra, mengapa shm belum lunas tetap diberikan kepada Bambang Samijono. Lalu dilakukanlah gugatan yang dimenangkan oleh pihak ahli waris (2000), kemudian 3 tahun kemudian datanglah pihak yang mengaku pembeli lelang dari tanah tersebut (Lie Herman Trisna).
"Saya merasa ini ada cacat hukum dalam pelelangan negara. Kita masih akan PK untuk kasus hal ini, "pungkasnya.
Saat yang berbeda via pesan elektronik menghubungi Lie Herman Trisna, ia mengaku sangat kecewa terhadap batalnya eksekusi ini, dia juga mengatakan harusnya negara hadir dalam hal ini.
"Surat permintaan terhadap pihak kepolisian belum direspon oleh pihak yang berwajib, saya kecewa negara harusnya hadir, "ungkapnya. (Ray)