Senin, 21 September 2020

114 Tahun Perang Puputan Badung, Ambara putra 'mekidung'

Ambara Putra bincang ringan

GATRADEWATA NEWS | DENPASAR | 'Kidung' (Geguritan) atau Syair merdu yang dilantunkan Ambara Putra dan kawan-kawan diacara peringatan perang Puputan Badung 20 September 2020, di Puri Grenceng, Denpasar. Lantunan Syair yang terdengar lirih dan membuat suasana menjadi kembali ke jaman sejarah besar yang pernah terjadi di Bali pada tahun 1906.

Raja, bangsawan dan rakyat Bali saat itu bersatu untuk melawan sebuah kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda, dimana Puputan Badung itu mempunyai arti Perang sampai darah penghabisan. Sebuah konsep harga diri yang tidak mau tunduk akan kesewenang-wenangan penjajahan saat itu.

Dikutip dari Lontar Babad Badung Druwen, keturunan berikutnya, Anak Agung Putu Oka Manek, lahir tahun 1901. Pada tahun 1946 mulai menulis Babad Badung atau di usia 45 tahun. Kemudian tahun 1948 mengarang kidung lahirnya Ken Angkrok atas permintaan Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan X. 

Puputan merupakan asal kata dari puput yang artinya selesai, habis atau mati. Puputan adalah sebuah tradisi masyarakat Bali dalam perang, yang pantang menyerah kepada musuh dan melakukan perlawanan sampai habis-habisan, dengan mati secara terhormat demi tumpah darah negeri tercinta, bahkan sampai rela mati bunuh diri daripada menyerah kepada musuh. Peristiwa perang puputan beberapa kali terjadi di Bali diantaranya perang puputan Badung, perang puputan Jagaraga, perang puputan Klungkung dan juga terjadi pada masa kemerdekaan RI di tahun 1946 yakni perang puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai dalam melawan kolonial Belanda.

Sekilas tentang cerita pada saat itu seorang jendral bernama Van Heutsz diangkat menjadi gubernur Jendral Hindia Belanda, yang memiliki keinginan menguasai seluruh Nusantara (Indonesia) dan menjadi satu kesatuan atas nama pemerintah Belanda yang berkedudukan di Batavia, namun pandangan tersebut bertentangan dengan pandangan di sejumlah wilayah Hindia Belanda, termasuk juga Bali, karena Bali menganut pemerintahan kerajaan yang sudah sesuai kesepakatan yang dibuat antara kerajaan di Bali dengan pemerintah Hindia Belanda di tahun 1849, perjanjian tersebut masih dihormati dan dilaksanakan. Yang ini membuat Van Heutsz tidak sepaham dan menganggap tidak terjadi keseragaman, dengan cara pandang berbeda tersebut Van Heutsz sangat berambisi untuk mengambil wilayah kerajaan di Bali secara penuh. Dan membuat cerita yang mengada-ngada dengan tuduhan adu domba terhadap kehilangan sejumlah uang di kapal milik keturunan cina yang terdampar di Sanur (Bali) dari wilayah Banjarmasin. Lalu masalah ini dibesar-besarkan dengan menetapkan denda ganti rugi sebesar 3000 ringgit.

I Gusti Ngurah Made Agung yang saat itu merupakan raja Badung, merasa yakin akan kejujuran rakyatnya yang tetap berpegang teguh dengan pendiriannya. Ultimatum jika batas waktu 9 januari 1905 tidak dipenuhi akan dilakukan blokade ekonomi oleh Belanda. Lalu karena keras hati raja Badung membela hak rakyatnya, kolonial Belanda mengirim kapal angkatan laut untuk memblokade dermaga, sehingga pihak kerajaan mengalami banyak kerugian dari pemasukan dermaga karena blokade tersebut, bahkan kolonial Belanda semakin sering melakukan patroli karena raja Badung tetap kukuh tidak mau ganti rugi atau bayar denda. Situasi politikpun menjadi memanas antara raja Badung dengan kolonial Belanda. Dan Kolonial Belanda pun menambah biaya ganti rugi menjadi 5.173 ringgit, ini dikarenakan biaya blokade untuk kapal laut yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda, dan memberikan ultimatum sampai 1 September 1906 dan mengancam akan melakukan tindakan militer.

Ancaman seperti itu tidak membuat raja Badung mengubah pendirian dan tunduk. Malah Raja Badung bersiap dengan segala resiko yang mungkin terjadi untuk membela harga diri dan kedaulatan kerajaan. Ini membuat Gubernur Hindi Belanda di Batavia mengirim ekspedisi militer dan sampai di selat Badung pada tanggal 12 September 1906, dan pabean Sanur dikuasai untuk tempat pertahanan.

Utusanpun dikirim agar raja Badung dan raja Tabanan yang mendukung Badung agar menyerah, dan ditolak dengan tegas.
Kemudian pertempuran hebatpun terjadi pada tanggal 15 september 1906 di desa Sanur, banyak korban yang terjadi di kedua belah pihak, dari laskar kerajaan badung sendiri tercatat 33 orang gugur di medan laga dan beberapa terluka.

Pasukan Belanda bergerak ke arah barat dan menembakkan meriamnya ke arah puri Pemecutan dan Denpasar, sehingga menimbulkan kerusakan parah. Pada tanggal 20 September 2019, yang merupakan puncak dari perang Puputan Badung dimana raja I Gusti Ngurah Made Agung bersama pengikut setianya, rombongan ke luar puri dan semua membawa senjata baik itu tombak dan keris, termasuk juga anak-anak. Raja bersama pasukan dan rakyat akhirnya bertempur sampai habis-habisan melawan pasukan Belanda, perlawanan yang tidak seimbang ini membuat pasukan kerajaan mengalami kekalahan dan raja sendiri gugur di medan perang. (Kutipan dari balitoursclub.net

Gede Ngurah Ambara Putra pun merasa ikut bertanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan hari peringatan Perang Puputan ini menjadi momentum perubahan menjaga Bali, seperti yang Ia konsepkan dalam setiap visi misinya dalam pencalonannya menjadi Calon Walikota Kota Denpasar 2020.

"Ada upaya menjaga Denpasar ini dalam sisi pemasukannya, bukan hanya pengeluarannya saja, "ujarnya.

Program yang ditawarkan pun seperti 5 P yakni, Puri, Para, Pura, Purana, Purohita yang merupakan pembentuk dari budaya ini, " agar bisa lebih ringan, kita harus menjaga 5P ini sebagai pedoman budaya kita, "jelasnya.

Anak Agung Ngurah Agung, sebagai tokoh puri pun menyambut Ngurah Ambara dengan mendukung program-programnya dan menambahkan ide bahwa , "Sebagai calon harus berani memberi makan rakyat yang lagi susah saat ini, dengan memberikan membayarkan makanan kemana bapak pergi, setiap jumat berikan saudara kita muslim susu, kristen, budha juga berikan mereka dupa, roti agar selalu bisa menjadi pemimpin yang melek terhadap kondisi rakyatnya, "ujarnya dengan tegas. (Ray)

Lecehkan Media Grassroot, Wilson Lalengke Laporkan Kapolres Pringsewu ke Divisi Propam Polri

  Jakarta – Kapolres Pringsewu, AKPB Yunus Saputra, kembali berulah. Setelah beberapa waktu lalu dia dikecam keras karena melarang kepala s...