I Ketut Rundung didampingi istri dan anaknya I Nengah Suwenten serta cucunya yang disabilitas saat ditemui di rumahnya di Banjar Dinas Amed, Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang, Karangasem, Jumat lalu. |
Tanah yang disengektakan tersebut saat ini masih ditempati oleh I Ketut Rundung beserta keluarganya. Saat ditemui di rumahnya, Jumat (07/08), pria yang sudah lanjut usia ini ditemani sang anak, I Nengah Suwenten, menuturkan kronologis perkara tersebut. Rundung mengaku tidak menyangka tanah warisan orang tuanya tersebut digugat oleh tetangganya sendiri.
“Tanah dan rumah ini sudah saya tempati sejak lahir. Tanah ini warisan dari ayah saya,” tutur lansia yang mulai mengalami gangguan pendengaran ini, mengawali perbincangan dengan wartawan.
Rundung mengatakan, sejak ia kecil tidak pernah ada yang mempersoalkan tanah yang ia tempati. Ia pun syok ketika tanah ini diakui oleh pihak lain (keturunan alm. I Ramia, tetangganya sendiri). Ia sangat khawatir dan sedih jika sampai tanah dan rumah yang ditempatinya dirampas. Apalagi dari 10 orang yang menempati tanah ini, empat di antaranya sudah lansia dan satu orang (cucunya) dalam kondisi disabilitas.
Ia berharap ada bantuan dari pemerintah maupun pihak-pihak terkait. “Sekarang di sini tinggal tiga KK, yakni saya dan istri, seorang anak, menantu, cucu, ipar dan keponakan saya. Seorang anak saya dan seorang keponakan saya, sudah lama pindah. Setelah berkeluarga mereka bikin rumah sendiri di tegalan kami,” kata Rundung.
Melanjutkan cerita ayahnya, I Nengah Suwenten, mengatakan, perkara tanah ini sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Amlapura tanggal 6 Juli 2020 lalu. Dalam putusan tersebut, kata dia, hakim memenangkan gugatan dari para penggugat yang berjumlah 37 orang. Para penggugat adalah ahli waris dari I Ramia.
Suwenten mengaku sangat kecewa dengan keputusan PN Amlapura. “Keputusan ini sungguh-sungguh tidak adil. Kami memang orang miskin, tapi kami harap mendapat keadilan dari hakim di pengadilan. Namun, ternyata hasilnya tidak seperti yang kami harapkan,” tuturnya.
Ia merasa ada yang ganjil dari proses peradilan. Dikatakannya, tanah yang ditempatinya bersama keluarga, sebenarnya berbeda dengan tanah waris dari pihak penggugat. Dari luasannya pun berbeda. “Tanah keluarga kami, itu luasnya 7.992 m3, berbentuk persegi panjang. Sedangkan tanah I Ramia, itu luasnya 8.150 m3, berbentuk ‘kapak’. Tanah I Ramia itu ada di sebelah, bukan tanah ini, digarap oleh ahli warisnya,” jelasnya sembari menunjuk tanah yang dimaksud.
Lebih jauh Suwenten menceritakan, akhir tahun 2018, keluarganya mengurus Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) ke Dispenda Karangasem, pengajuan itu diketahui Kelian Banjar setempat. Akhirnya keluarlah SPPT pada bulan Maret 2019, dan pihaknya sudah membayar pajak tersebut. Selanjutnya ayahnya mengajukan pensertifikatan tanah itu ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ketika petugas BPN hendak melakukan pengukuran pada April 2019, dihalang-halangi oleh keluarga I Ramia. Karena suasana tidak kondusif, akhirnya pengukuran tanah itu ditunda.
Proses pensertifikan belum berlanjut, justru Rundung mendapat surat pembatalan SPPT dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Karangasem, tanggal 3 Juli 2019. Sampai akhirnya muncul gugatan dari tetangganya itu. “Awalnya kami bingung bagaimana menghadapi ini. Kami orang miskin, tidak punya uang dan tidak punya kenalan pejabat. Beruntung dan bersyukur ada bapak-bapak pengacara yang tulus membantu kami tanpa bayaran,” ujar Suwenten.
Mendapat Intimidasi
Perkara ini bagi keluarga I Ketut Rundung tidak saja memberatkan secara materiil, namun juga tekanan mental/psikis. Keluarga ini beberapa kali mendapat intimidasi dari pihak penggugat. “Mereka pernah ingin mengusir kami, melarang kami bercocok tanam di tanah ini, bahkan merusak tanaman kami. Mereka juga memagari tanah kami, dan mendirikan pelinggih tugu di atas tanah yang kami tempati,” kata Suwenten.
I Nengah Putra, salah seorang warga Amed, mengaku prihatin dengan apa yang menimpa keluarga I Ketut Rundung. Ia yang juga sempat menjadi saksi saat persidangan di PN Amlapura, sangat menyesalkan keputusan pengadilan. Menurutnya, keputusan PN Amlapura sangat tidak berkeadilan, tidak mempertimbangkan fakta di lapangan, sehingga ia sebagai masyarakat ikut kecewa.
“Saya jadi saksi fakta. Ini objek tanahnya berbeda. Semua saya tahu, mana tanah Ramia, mana tanah Rundung. Kedua tanah ini dekat dengan rumah saya. Tujuan kami ikut bersuara, jangan sampai ada Ramia Ramia yang lain mengklaim tanah orang. Takutnya nanti tanah saya ikut diklaim juga. Untuk itu, saya minta penegak hukum supaya mengedepankan keadilan,” tegasnya penuh harap. (Rk)